Am I still his #1?

Kaylee’s POV
Gue sudah terbiasa, bener-bener terbiasa dengan hal yang mampu memotong jam tidur gue dengan begitu mengenaskannya. Only for Jeremiah, mata lima watt gue rela masih terbuka di jam yang seharusnya orang-orang sudah bertemu mimpinya. Lima menit yang tak berarti juga — mungkin karena kita daritadi masih berdiam-diaman, tanpa satupun yang mau membuka percakapan, terbuang begitu saja. Sekali lagi, hanya untuk Jeremiah. Lebih tepatnya sih, hanya untuk menghadapi ego kita yang sekarang bertubrukan. Berlomba-lomba tetap berpijak kuat di pemikiran masing-masing.
“Good nite.” Hanya itu yang keluar dari mulut yang sebelumnya sangat bawel. Ini beneran nih ditutup sedemikian singkat, jelas, dan padat like a ‘Good nite’? Jujur gue enggak tau, berdasarkan pengalaman gue yang sudah — sangat — handal ini menghadapi Jeremiah Hugo, kata-kata semacam itu hanya awal dari semuanya. Biasa, dia gimmick. Dia mau gue bujuk buat stay. As well as. Dari dalam hati yang terdalamnya, dia masih mau berhadapan sama gue. Even though he will have to face my ego which is as big as his ego too. Oh, then let’s get this over with.
“Oke. Nite.”
Dia menghela napas, beranjak dari duduknya, mulai menjauhi keramaian kecil yang dibuat oleh teman band-nya, Hema, Jayden, dan Saskara. Gue lihat dari akun sosmed mereka sih, judulnya lagi nemenin yang galau. We all know who is at war with their heart right now among the four of them. Gue beneran 100% enggak masalah jika Jemi memutuskan untuk pergi dulu sama temen-temennya, seengaknya teman-temannya itu — walaupun agak sableng juga, bisa membuat Jemi mikir dengan kepala dingin berkat nasihat mereka. When his mind is in turmoil over me. Ya, gue sadar diri.
Dia udah menepi, ke tempat yang lumayan sepi. “Kok enggak dimatiin, katanya Good nite?”
“Emang harus dimatiin ya. Gini, itu di luar kendali aku, Kay.”
Right on target, enggak ada istilahnya beneran langsung selesai, apalagi ditutup begitu saja kalau Jemi belum membahas tentang apa yang terjadi di antara gue sama dia. Gue enggak ragu untuk bilang gue sangat handal menebak Jemi because I’m his target too, for him to go home, for sharing, and so on. Bahkan jika Jemi meminta udah-pun, dia yang bakalan terus ngelanjutin.
“Tapi enggak seharusnya mereka pake jepretan aku terus kirim itu ke base? You know that’s not polite, right? You should have taken action if you — ”
“I don’t need to take action to stop it all if it’s out of my control, in fact. I just focus on making you comfortable with me, Kay.”
“I’m not comfortable with all that, Jem! I get so mad when you’re adored and even gawked at. Ada yang bilang mau jadi pacar kamu lah, aku merasa enggak dihargai as your real girlfriend tau gak? Kalau paham perasaan aku, kamu bakalan berhentiin itu….” Nada bicara gue beneran naik turun, di awal rasanya gue pengen banget meledak tapi di ujungnya gue cuma bisa pasrah kalau seharusnya Jemi bisa paham perasaan gue sekarang. It really hurts me to see it. I’m not good at controlling everything, but this is my feeling and it’s valid, right?
“Kita bahas ini sebenernya enggak cuma sekali dua kali — ”
“Dan kamu masih minta aku for don’t take that seriously? You have got to be kidding me, Jem?” Rasanya gue mau teriak, memang dia aja yang bisa motong pembicaraan gue?
“Aku enggak minta kayak gitu, Kaylee…” nada bicaranya merendah, kayaknya dia juga udah capek, “Aku cuma mau minta kamu paham, itu beneran di luar kendali aku. Aku mana tau bakalan ada yang kasih reaksi kayak gitu. Like a ‘mau jadi pacar kak Jemi.’ Or something like that. Hal kayak gitu enggak seharusnya kamu lempar rasa marah kamu ke aku, Kay. You can ask me clearly if you want me to tell that people to stop that kind of thing, tapi aku sendiri enggak bisa menjamin itu beneran stop completely. Since — ”
“Since it’s all out of your control.” Gue tanpa ragu-ragu melanjutkan pembicaraannya, karena gue sendiri juga udah paham dan dia sendiri udah pasrah. It was all obvious from his tone and the way he said it. I’m sad, am I still his number one if I’m always asking so much of him?
“Right.”
“Kalau gitu kamu juga enggak bisa lempar rasa marah kamu ke aku if my DMs are full of requests, whether it’s iseng or a serious one too. Because it’s also out of my control.”
Gue merasa enggak salah bilang kayak gitu dan membawa hal itu lagi. Karena bener kan apa yang kayak dibilang Jemi? Hal kayak gitu tuh juga di luar kendali gue juga, tapi at least gue beneran pernah minta mereka untuk stop, gue rela ngeladenin mereka dengan judul menolak mentah-mentah walaupun Jemi sendiri bilang biar dia aja yang ladenin cowok-cowok hidung belang itu. I just want to be seen as taking action and responsibility for my boyfriend’s feelings, and am I wrong to ask for that from him too? Mungkin dari kalian heran, kenapa gue kebanyakan nanya. Gue lagi terbawa suasana, suasana pertanyaan Am I still his number one?
“Fine. Iya, I’m so sorry from bottommost of my heart, Kay. Isn’t that fair?”
“Lebih fair kalau kamu punya aksi buat ngeliatin ke aku kalau perasaan aku ini masih berharga buat kamu jaga. That’s all Jem….”
Yang di seberang terdiam, entah merasa tertohok atau merasa bersalah, syukur-syukur merasa bersalah. Jemi membenarkan posisi duduknya, kini lebih mencari ke-relax-an, tubuhnya ia sandari di tembok bercat gading milik restoran bernuansa Korean itu.
“Iya, aku suruh stop hal yang kayak gitu, tapi dengan catatan kita harus sama-sama sadar ya, Kay, hal semacam itu enggak bisa dikendaliin. Whether it want to continue or stop like what we want to do, yang penting kita udah usaha buat berhentiin itu. Kamu maupun aku sendiri, enggak seharusnya lampiasin ke orang yang seharusnya enggak dapet itu karena it out of our control. Maaf kamu sampe ngerasa aku ngegampangin perasaan kamu, I didn’t mean to, my goal is only one, nothing other than I want to calmly date with you. Howbeit, turns out cara aku buat kamu merasa kayak gitu. I’m so sorry, sayang.”
Gue mencoba untuk mencerna apa yang barusan aja keluar dari mulut cowok gue dan setelah dipahami, dia bener. Enggak seharusnya kita kayak gini, tapi menurut gue hal kecil kayak gini juga enggak bisa kita hindari. Jemi masih menatap gue dengan mata sayunya, kayaknya dia cukup ngantuk, kepalanya udah mulai nunduk-nunduk sesekali.
Gue mengangguk, “In conclusion kita cuma butuh brainstorming dan I think we’ve got it, soooo, aku juga minta maaf, Jem. Aku masih kayak anak kecil di umur hubungan kita yang terbilang cukup lama. Aku masih perlu dibimbing. I still need to learn from everything about us.”
And without any prompting, in an ‘impolite’ behavior, he flashed me his sweetest smile. Right when our eyes met on the screen.
“I know, and so do I.” Gue membalas senyumannya dengan mata yang sebenarnya memberontak ingin ditutup, alias tidur.
“Hah oke, you should sleep, me too. Yang lain juga udah pada ngantuk, aku habis ini langsung balik hotel. So, good nite for real, princess-ku?”
Kalau dibolehin teriak sekenceng-kencengnya, gue bakalan ngelakuin itu. Helaan napas lega Jemi ketika masalah diantara kita udah clear adalah salah satu momen favorit gue, but this one was like I got a double kill shot. He just said ‘princess-ku’ I’m already screaming inside, pacaran bertahun-tahun enggak jamin gue buat jadi kuat sama hal kayak gitu. I’m so weak!
“Jem, am I still-”
“Sure, you’re always my number one. Immortal love song, you know so well.” Do you want to know? He's smiling like that again!! Literally like that. Again.
“You know I love you like a lot, right? I think about you constantly. Ever since I meet you, no one else has been worth thinking about, Kay.”
UDAH. GUE UDAH GAK SANGGUP NERUSIN NARASI INI. I feel like I’m going to faint!
“Dasar anak band banget.” Cuma kalimat itu yang bisa menjelaskan kalau gue salting dan gue berharap cowok gue gak salah paham.
Jemi ketawa, “Tai lu.” Gue juga ikut ketawa. Besok gue mau pamerin cowok gue di SG, biar pada paham gue protes kalau cowok gue ya cowok gue. Yang jelas besok gue juga mau peluk Jeremiah seharian. :p